Monday 10 August 2015

Kampung Naga : Menjalankan Adat Istiadat Warisan Nenek Moyang


Kampung ini secara administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan wilayah sebelah Barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat karena di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga. Di sebelah selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan di sebelah utara dan timur dibatasi oleh Ci Wulan (Kali Wulan) yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut. Untuk waktu tempuh perjalan menuju Kampung Naga ini dari kota Tasikmalaya kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari kota Garut jaraknya kurang lebih 26 kilometer. Akses menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni tangga yang sudah di tembok hingga sampai ke tepi sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter. Kemudian melaluai jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan sampai kedalam Kampung Naga.

Wujud bangunan berbentuk segitiga dengan unsur bangunan menggunakan bilik-bilik, kayu-kayu, dan lain-lain serta idak menggunakan semen atau pasir. Semua bentuk, ukuran, alat dan bahan bangunan semuanya sama hal ini menunjukkan adanya keseimbangan dan keselarasan yang ada di daerah tersebut. Di Kampung Naga terdapat bangunan tempat ibadah, ada pula balai pertemuan serta terdapat lumbung padi.
Penduduk Kampung Naga semuanya mengaku beragama Islam. Pengajaran mengaji bagi anak-anak di Kampung Naga dilaksanakan pada malam Senin dan malam Kamis, sedangkan pengajian bagi orang tua dilaksanakan pada malam Jumat. Dalam menunaikan rukun Islam yang kelima atau ibadah Haji, mereka beranggapan tidak perlu jauh-jauh pergi ke Tanah Suci Mekkah, namun cukup dengan menjalankan upacara Hajat Sasih yang waktunya bertepatan dengan Hari Raya Haji yaitu setiap tanggal 10 Rayagung (Dzulhijjah). Upacara Hajat Sasih ini menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga sama dengan Hari Raya Idul Adha dan Hari Raya Idul Fitri.

Perkampungan ini didiami sekelompok masyarakat yang sangat kuat menjaga dan menjalankan adat istiadat peninggalan leluhur adat Sunda. Perkampungan ini sangat lestari. Masyarakatnya menolak intervensi dari bagian luar karena takut menggangu kampung tersebut. Pusat pengembangan potensi budaya yang terjadi di Kampung Naga merupakan ciri kesederhanaan dan ketaatan akan budaya sendiri sedangkan praktek pembangunannya sendiri mempunyai wawasan lingkungan yang futuristik, baik secara fisik, sosial, ekonomi maupun budaya.

Terdapat beberapa versi sejarah yang diceritakan tentang asal mula Kampung Naga ini. Namun, asal mula kampung ini sendiri tidak memiliki titik terang. Tak ada kejelasan sejarah, kapan dan siapa pendiri serta apa yang melatarbelakangi terbentuknya kampung dengan budaya yang masih kuat ini. Warga kampung Naga sendiri menyebut sejarah kampungnya dengan istilah "Pareum Obor". Pareum jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu mati, gelap. Dan obor itu sendiri berarti penerangan, cahaya, lampu. Jika diterjemahkan secara singkat yaitu, Matinya penerangan. Hal ini berkaitan dengan sejarah kampung naga itu sendiri. Mereka tidak mengetahui asal usul kampungnya. Masyarakat kampung naga menceritakan bahwa hal ini disebabkan oleh terbakarnya arsip/ sejarah mereka pada saat pembakaran kampung naga oleh Organisasi DI/TII Kartosoewiryo. Pada saat itu, DI/TII menginginkan terciptanya negara Islam di Indonesia. Kampung Naga yang saat itu lebih mendukung Soekarno dan kurang simpatik dengan niat Organisasi tersebut. Oleh karena itu, DI/TII yang tidak mendapatkan simpati warga Kampung Naga membumihanguskan perkampungan tersebut pada tahun 1956.
Cerita sejarah asal mula Kampung Naga dari beberapa sumber diantaranya adalah berawal dari masa kewalian Syeh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Pada masa kewalian Syeh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, seorang abdinya yang bernama Singaparana ditugasi untuk menyebarkan agama Islam ke sebelah Barat. Kemudian ia sampai ke daerah Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Di tempat tersebut, Singaparana oleh masyarakat Kampung Naga disebut Sembah Dalem Singaparana. Suatu hari ia mendapat ilapat atau petunjuk harus bersemedi. Dalam persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu tempat yang sekarang disebut Kampung Naga. Namun masyarakat kampung Naga sendiri tidak meyakini kebenaran versi sejarah tersebut, sebab karena adanya "pareumeun obor" tadi.

Penduduk Kampung Naga semuanya mengaku beragama Islam. Pengajaran mengaji bagi anak-anak di Kampung Naga dilaksanakan pada malam Senin dan malam Kamis, sedangkan pengajian bagi orang tua dilaksanakan pada malam Jumat. Dalam menunaikan rukun Islam yang kelima atau ibadah Haji, mereka beranggapan tidak perlu jauh-jauh pergi ke Tanah Suci Mekkah, namun cukup dengan menjalankan upacara Hajat Sasih yang waktunya bertepatan dengan Hari Raya Haji yaitu setiap tanggal 10 Rayagung (Dzulhijjah). Upacara Hajat Sasih ini menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga sama dengan Hari Raya Idul Adha dan Hari Raya Idul Fitri.

Hal yang klenik, mitos yang terus terjaga yang menjadikan segalam macam unsur dikampung tradisional terkadang diluar nalar. Namun kepercayaanlah yang membuat unsur unsur adat tersebut terjaga hingga kini bagi masyarakat kampung tradisional atau kampung adat tersebut, masih terjaga ditengah perkembangan zaman sampai sejauh ini. Yang lain diantaranya adalah kisah tentang Eyang Singaparana, tokoh leluhur Kampung Naga yang paling berpengaruh dan berperan bagi masyarakat setempat. Eyang Singaparana atau Sembah Dalem Singaparana atau Eyang Galunggung, yang dimakamkan di sebelah barat Kampung Naga. Makam ini dianggap sebagai makam keramat yang selalu diziarahi pada saat diadakan upacara adat bagi semua keturunannya. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Eyang Singaparna tidak meninggal dunia melainkan hilang tanpa meninggalkan jasad. Di tempat yang dipercaya sebagai tempat hilangnya Eyang Singaparna itu masyarakat Kampung Naga menganggapnya sebagai makam, dengan memberikan tanda atau petunjuk kepada keturunan masyarakat Kampung Naga.

Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga, dengan menjalankan adat-istiadat warisan nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau karuhun. Segala sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran karuhun Kampung Naga, dan sesuatu yang tidak dilakukan karuhunnya dianggap sesuatu yang tabu. Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga berarti melanggar adat, tidak menghormati karuhun, hal ini pasti akan menimbulkan malapetaka. Kepercayaan masyarakat Kampung Naga kepada mahluk halus masih dipegang kuat. Percaya adanya jurig cai, yaitu mahluk halus yang menempati air atau sungai terutama bagian sungai yang dalam ("leuwi"). Kemudian "ririwa" yaitu mahluk halus yang senang mengganggu atau menakut-nakuti manusia pada malam hari, ada pula yang disebut "kunti anak" yaitu mahluk halus yang berasal dari perempuan hamil yang meninggal dunia, ia suka mengganggu wanita yang sedang atau akan melahirkan. Sedangkan tempat-tempat yang dijadikan tempat tinggal mahluk halus tersebut oleh masyarakat Kampung Naga disebut sebagai tempat yang angker atau sanget. Demikian juga tempat-tempat seperti makam Sembah Eyang Singaparna, Bumi ageung dan masjid merupakan tempat yang dipandang suci bagi masyarakat Kampung Naga. Diantarnra terdapat bangunan yang dianggap keramat yaitu “Bumi Ageung”, merupakan tempat pelaksanaan rutinitas upacara adat, tempat ini tidak boleh dimasuki kecuali oleh Ketua Adat

Tabu, pantangan atau pamali bagi masyarakat Kampung Naga masih dilaksanakan dengan patuh khususnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktivitas kehidupannya.pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap orang. Misalnya tata cara membangun dan bentuk rumah, letak, arah rumah,pakaian upacara, kesenian, dan sebagainya.
Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga harus panggung, bahan rumah dari bambu dan kayu. Atap rumah harus dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang, lantai rumah harus terbuat dari bambu atau papan kayu. Rumah harus menghadap kesebelah utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah Barat-Timur. Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasag. Rumah tidak boleh dicat, kecuali dikapur atau dimeni. Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok, walaupun mampu membuat rumah tembok atau gedung (gedong).
Rumah tidak boleh dilengkapi dengan perabotan, misalnya kursi, meja, dan tempat tidur. Rumah tidak boleh mempunyai daun pintu di dua arah berlawanan. Karena menurut anggapan masyarakat Kampung Naga, rizki yang masuk kedalam rumah melaui pintu depan tidak akan keluar melalui pintu belakang. Untuk itu dalam memasang daun pintu, mereka selalu menghindari memasang daun pintu yang sejajar dalam satu garis lurus.
Di bidang kesenian masyarakat Kampung Naga mempunyai pantangan atau tabu mengadakan pertunjukan jenis kesenian dari luar Kampung Naga seperti wayang golek, dangdut, pencak silat, dan kesenian yang lain yang mempergunakan waditra goong. Sedangkan kesenian yang merupakan warisan leluhur masyarakat Kampung Naga adalah terbangan, angklung, beluk, dan rengkong. Kesenian beluk kini sudah jarang dilakukan, sedangkan kesenian rengkong sudah tidak dikenal lagi terutama oleh kalangan generasi muda. Namun bagi masyarakat Kampung Naga yang hendak menonton kesenian wayang, pencak silat, dan sebagainya diperbolehkan kesenian tersebut dipertunjukan di luar wilayah Kampung Naga.

Adapun pantangan atau tabu yang lainnya yaitu pada hari Selasa, Rabu, dan Sabtu. Masyarakat kampung Naga dilarang membicarakan soal adat-istiadat dan asal usul kampung Naga. Masyarakat Kampung Naga sangat menghormati Eyang Sembah Singaparna yang merupakan cikal bakal masyarakat Kampung Naga. Sementara itu, di Tasikmalaya ada sebuah tempat yang bernama Singaparna, Masyarakat Kampung Naga menyebutnya nama tersebut Galunggung, karena kata Singaparna berdekatan dengan Singaparna nama leluhur masyarakat Kampung Naga.


Sistem kepercayaan masyarakat Kampung Naga terhadap ruang terwujud pada kepercayaan bahwa ruang atau tempat-tempat yang memiliki batas-batas tertentu dikuasai oleh kekuatan-kekuatan tertentu pula. Tempat atau daerah yang mempunyai batas dengan kategori yang berbeda seperti batas sungai, batas antara pekarangan rumah bagian depan dengan jalan, tempat antara pesawahan dengan selokan, tempat air mulai masuk atau disebut dengan huluwotan, tempat-tempat lereng bukit, tempat antara perkampungan dengan hutan, dan sebagainya, merupakan tempat-tempat yang didiami oleh kekuatan-kekuatan tertentu. Daerah yang memiliki batas-batas tertentu tersebut didiami mahluk-mahluk halus dan dianggap angker atau sanget. Itulah sebabnya di daerah itu masyarakat Kampung Naga suka menyimpan "sasajen" (sesaji).

Kepercayaan masyarakat Kampung Naga terhadap waktu terwujud pada kepercayaan mereka akan apa yang disebut palintangan. Pada saat-saat tertentu ada bulan atau waktu yang dianggap buruk, pantangan atau tabu untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang amat penting seperti membangun rumah, perkawinan, hitanan, dan upacara adat. Waktu yang dianggap tabu tersebut disebut larangan bulan. Larangan bulan jatuhnya pada bulan sapar dan bulan Rhamadhan. Pada bulan-bulan tersebut dilarang atau tabu mengadakan upacara karena hal itu bertepatan dengan upacara menyepi. Selain itu perhitungan menentukan hari baik didasarkan pada hari-hari naas yang ada dalam setiap bulannya, seperti yang tercantum dibawah ini:
1. Muharam (Muharram) hari Sabtu-Minggu tanggal 11,14
2. Sapar (Safar) hari Sabtu-Minggu tanggal 1,20
3. Maulud hari (Rabiul Tsani)Sabtu-Minggu tanggal 1,15
4. Silih Mulud (Rabi'ul Tsani) hari Senin-Selasa tanggal 10,14
5. Jumalid Awal (Jumadil Awwal)hari Senin-Selasa tanggal 10,20
6. Jumalid Akhir (Jumadil Tsani)hari Senin-Selasa tanggal 10,14
7. Rajab hari (Rajab) Rabu-Kamis tanggal 12,13
8. Rewah hari (Sya'ban) Rabu-Kamis tanggal 19,20
9. Puasa/Ramadhan (Ramadhan)hari Rabu-Kamis tanggal 9,11
10. Syawal (Syawal) hari Jumat tanggal 10,11
11. Hapit (Dzulqaidah) hari Jumat tanggal 2,12
12. Rayagung (Dzulhijjah) hari Jumat tanggal 6,20
Pada hari-hari dan tanggal-tanggal tersebut tabu menyelenggarakan pesta atau upacara-upacara perkawinan, atau khitanan. Upacara perkawinan boleh dilaksanakan bertepatan dengan hari-hari dilaksanakannya upacara menyepi. Selain perhitungan untuk menentukan hari baik untuk memulai suatu pekerjaan seperti upacara perkawinan, khitanan, mendirikan rumah, dan lain-lain, didasarkan pada hari-hari naas yang terdapat pada setiap bulannya

Lembaga Pemerintahan yang terdapat di Kampung Naga diantaranya RT, RK dan Kudus. Lembaga Pemerintahan di kampung tradisional ini lembaga pemerintahan yang dihiasi dengan unsur unsur adat tradisional, lembaga pemerintahan yang juga kental dengan budaya, diantaranya adalah terdapat Kuncen yang bertugas sebagai pemangku adat dan memimpin upacara adat dalam berziarah. Kemudian ada Punduh, yang tentunya masih kental dengan unsur tradisional. Dan kemudian terdapat disana dianranya ada Lebe, yang bertugas mengurusi jenazah dari awal sampai akhir sesuai dengan syariat Islam. Keseharian masyarakat dalam berkomunikasi juga masih dalam berkomunikasi, apalagi masyarakat tradisional maka kental dengan bahasa daerah seperti di Kampung Naga ini. Dalam berkomunikasi warga Kampung Naga mayoritas menggunakan bahasa Sunda Asli, hanya sebagian orang dalam arti yang duduk di pemerintahan. Adapula yang bisa berbahasa Indonesia itupun masih terlihat kaku dalam pengucapannya. Untuk pendidikan di Kampung Naga, tingkat Pendidikan masyarakat Kampung Naga mayoritas hanya mencapai jenjang pendidikan sekolah dasar, tapi adapula yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi itupun hanya minoritas. Kebanyakan pola pikirnya masih pendek sehingga mereka pikir bahwa buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya pulang kampung juga. Dari anggapan tersebut orang tua menganggap lebih baik belajar dari pengalaman dan dari alam atau kumpulan-kumpulan yang biasa dilakukan di mesjid atau aula.


Kesenian tradisioanal adalah bagian yang menjadi ciri khas sebuah kampung adat, di Kampung Naga sendiri terdapat kesenian yang terus dilestarikan, diantaranya adalah Terebang Gembrung. Kesenian yang dimainkan oleh dua orang sampai tidak terbatas biasanya ini dilaksanakan pada waktu Takbiran Idul Fitri dan Idul Adha serta kemerdekaan RI. Alat ini terbuat dari kayu. Kemudian ada Terebang Sejat, kesenian ini dimainkan oleh 6 orang dan dilaksanakan pada waktu upacara pernikahan atau khitanan massal. Dan kesenian tradisional Jawa Barat yang sudah mendunia, adalah Angklung. Di Kampung Naga, Angklung biasanya dimainkan oleh 15 orang dan dilaksanakan pada waktu khitanan massal.

Ya, seperti halnya kampung adat atau tradisional, keragaman budaya masyarakat adat, baik itu tradisi artistik, musik, keahlian atau seni kontemporer, merupakan sumber martabat yang tak terbatas, kepercayaan yang mereka kuatkan untuk menjaga unsur unsur adat yang tercipta dari leluhur mereka. Di sanalah terdapatnya nilai nilai budaya, terdapatnya situasi dimana mereka melestarikannya hingga kini. Disanalah terdapat nilai nilai alamiah, mereka menghargai alam disekitarnya yang hidup berdampingan disetiap waktu, disetiap kegiatan dan disetiap langkah hidup mereka, ketika maraknya perusakan alam yang dilakukan manusia tidak bertanggung jawab. Di kampung adat inilah terdapat nilai nilai kesenian yang menjunjung tinggi tentang ketekunan tiada batas. Di kampung adat inilah terdapat keseragaman masyarakat menghiasai keidupan, nilai nilai yang menyatukan mereka pada ikatan menjaga bersama adat istiadat nenek moyang. Disanalah terdapat semangat untuk berjuang hidup, seperti halnya semangat perjuangan bangsa Indonesia, semangat yang muncul dan terbangun dari masyarakat ke masyarakat, dari masyarakat meluas di seluruh desa, dari suatu desa ke desa lainnya , dari desa ke kota, hingga dari kota meluas ke wilayah nasional serta menjadi bagian penting dunia. Perjuangan masa lampau hingga kini nilai perjuangan hidup yang dimunculkan dari desa itu nilai nilainya bisa kita rasakan.Bagi masyarakat kampung adat, dengan menjalankan adat-istiadat warisan nenek moyang berarti menghormati para leluhur. Segala sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran dan sesuatu yang tidak dilakukan masa oleh pendahulu mereka maka seperti itulah dianggap sesuatu yang tabu hingga muncul kekhawatiran tentang malapetaka.

Tapi disinilah peran peting masyarakat modern untuk memperkenalkan mereka tanpa harus merugikan pihak manapun yang terdapat dan yang telah menghiasi keseharian masyarakat kampung adat. Dengan kita inilah yang berperan untuk menghormati hak-hak masyarakat adat untuk mempertahankan, memantau, melindungi dan mengembangkan pengetahuan tradisional mereka.

Referensi :
https://id.wikipedia.org/wiki/Kampung_Naga
http://www.goodnewsfromindonesia.org/2015/08/06/19633/
http://09121985.tumblr.com/post/6181444140/sejarah-situs-kampung-naga-kampung-naga-berada-di

0 komentar:

Post a Comment